Klasik

Benteng Jagaraga Menjadi Saksi Sejarah Perjuangan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik

 Kamis, 26 Maret 2015

SejarahBali.com/Ist

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Karangasem - 
Benteng Jagaraga menjadi saksi sejarah perjuangan Patih dari kerajaan Buleleng Bali ini. Ia berperang melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.
 
 
Kapan I Gusti Ketut Jelantik lahir tidak diketahui dengan pasti. Yang jelas, pada tahun 1828 ia diangkat sebagai Patih Agung Kerajaan Buleleng, Bali. Ia merupakan keturunan darah Dinasti Perang Puputan Jagaraga. Sebagai Patih Agung, ia membina kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain di Bali. Berkaitan dengan itu, ia juga dipaksa berhadapan dengan pihak Belanda yang ingin menguasai Bali umumnya dan Buleleng khususnya.
 
 
Dalam suatu perundingan, pihak Belanda menuntut agar Raja Buleleng mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang dirampasnya. Sebagai dalih, Belanda menuntut agar raja-raja Bali menghapus hukum "Tawan Karang". Karena menurut hukum Tawan Karang, kapal yang terdampar di pantai disita oleh penduduk pantai tempat kapal itu terdampar dan menjadi milik raja Bali.
 
 
Belanda merasa dirugikan sebab beberapa kapal dagang mereka sudah dikenakan Tawan Karang. Kapal yang dimaksud adalah kapal dagang Belanda yang terdampar di daerah Prancak (wilayah Jebarana) pada tahun 1844 yang merupakan wilayah hukum (juridiksi) Kerajaan Buleleng. Selain itu, Belanda juga menuntut agar Raja Buleleng mengakui kekuasaan Belanda di Hindia Belanda.
 
Mendengar tuntutan itu, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjadi sangat marah. Ia tidak mau tunduk terhadap tekanan Belanda itu. Dengan menepukkan tinju ke dadanya ia pun berkata: "Apapun tidak akan bisa terjadi. Selama aku hidup, tidak akan mengakui kekuasaan Nederland di kerajaan ini. Bila aku mati, raja boleh berbuat apa saja yang dikehendaki. Tetapi dengan cara begini orang tidak bisa dibentuk oleh sehelai kertas saja hendak menguasai negara lain. Keris ini harus sepadan berbicara dulu". Kata-kata patih itu ditulis oleh Mard Johansen Lane, seorang  pengusaha dan diplomat berkebangsaan Denmark yang menjadi penengah antara raja-raja Bali dan Belanda.
 
 
Pada tahun 1843 Belanda berhasil memaksa beberapa raja, antara lain raja Buleleng menandatangani perjanjian penghapusan Tawan Karang. Namun, Raja Buleleng tidak mau menaati perjanjian itu sepenuh hati.
 
 
Pada tahun 1845 sebuah kapal Belanda terdampar di pantai Sangsit yang merupakan wilayah Kerajaan Buleleng. Belanda menuntut agar kapal itu dibebaskan. Ketut Jelantik menolak. Bahkan ia menghina utusan Belanda dan menantangnya untuk berperang. Akibatnya, pada bulan Juni 1846 pasukan Belanda menyerang Buleleng. Pertempuran sengit pun terjadi. Pertempuran tersebut tidak berjalan seimbang karena tentara Belanda berjumlah 1.700 orang dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern. Istana Buleleng pun mereka duduki. Buleleng akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 29 Juni 1846. Buleleng terpaksa mengakui kedaulatan Belanda, begitu pula Karangasem. Akan tetapi, Buleleng tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan.
 
 
Raja Bali dan Ketut Jelantik menyingkir ke Jagaraga dan membangun benteng-benteng pertahanan di tempat itu. Patih Jelantik menyadari bahwa kekuatan serdadu Belanda terutama terletak dalam kelengkapan persenjataan, seperti senapan dan perlengkapan yang memadai. Untuk menghadapi kelebihan pihak lawan itu, Patih Jelantik memilih sistem pertahanan "Supit Udang" (makara wyuda). Patih itu menyadari bahwa daerah pantai sulit dipertahankan karena dengan mudah dapat dijangkau oleh peluru meriam Belanda. Oleh karena itu, Benteng Jagaraga dipandang sebagai pertahanan yang baik karena wilayah itu tidak dapat dicapai oleh peluru meriam dan mortir dari pantai.
 
 
Untuk menghindari gempuran yang lebih hebat lagi, Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem bersiaga penuh menghadapi serangan Belanda. Buleleng tetap menolak mengadakan perjanjian dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara lain: 1). Daerah Buleleng merupakan bagian dari Hindia Belanda; 2). Raja Buleleng tidak akan mengadakan hubungan dengan orang Eropa lainnya; 3). Hak Tawan Karang dihapuskan; 4). Buleleng harus mengganti kerugian perang.
 
Pembangunan benteng di Jagaraga itu wujud nyata penolakan perjanjian itu. Di samping itu, kapal Belanda yang terdampar di Pantai Kusumba dan Badung juga diperlakukan sebagaimana mestinya sesuai hak Tawan Karang. Untuk mengantisipasi penyerbuan Belanda di Jagaraga, pasukan disiagakan. Pembangunan benteng itu menyebabkan Gubernur Jenderal Belanda mengerahkan kekuatan besar-besaran di bawah pimpinan Jenderal van der Wijk sekaligus menuntut agar Patih Jelantik menyerahkan diri.
 
Buleleng mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Dewa Agung Putra sebagai Susuhunan raja-raja Bali memberi bantuan laskar sebanyak 1.650 orang yang terdiri dari prajurit gabungan Klungkung-Gianyar lengkap dengan persenjataannya di bawah pimpinan I Dewa Ketut Agung. Laskar Kerajaan Mengwi berjumlah 600 orang, Kerajaan Karangasem mengirim 1.200 orang di bawah pimpinan I Made Jungutan dan Gde Padang. Menjelang akhir tahun 1846 di Ibu Kota Jagaraga telah berkumpul laskar 7.000-8.000 orang lengkap dengan persenjataannya. Laskar-laskar itu digabung dengan laskar Buleleng yang dipimpin oleh Ida Bagus Tamu dan I Nengah Raos sehingga merupakan laskar dalam jumlah besar.
 
Pada bulan Juni 1848 Belanda kembali mengirim pasukannya ke Bali. Raja Buleleng diultimatum agar menyerahkan Ketut Jelantik dan membongkar benteng-benteng di Jagaraga. Ultimatum itu tidak diindahkan oleh Ketut Jelantik. Pasukan Belanda langsung menyerang Jagaraga. Kekuatan pertahanan dan kegigihan para prajurit Buleleng membuat Belanda tidak mampu merebut Benteng Jagaraga. Serangan itu pun gagal. Bahkan, pihak Belanda kehilangan 14 perwira dan 242 prajuritnya. Pertempuran sengit itu dikenal sebagai Perang Jagaraga I. Raja Buleleng I Gusti Ngurah Karangasem dan patihnya I Gusti Ketut Jelantik yang mundur ke desa Jagaraga dan menyusun pasukan baru ternyata berhasil menahan serbuan Belanda.
 
Masih pada tahun 1848, pertempuran kedua dengan Belanda kembali meletus. Untuk kedua kalinya, tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal van der Wijk juga tak mampu menahan gempuran dahsyat pasukan Buleleng yang dipimpin oleh Patih Ketut Jelantik. Tentara Belanda pun mundur ke arah pantai.
 
Kemenangan Buleleng itu disusul dengan peperangan ketiga pada tanggal 31 Maret 1849. Tentara Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Michels melancarkan tembakan meriam di atas kapal. Pertempuran sengit berkobar di Jagaraga selama dua hari. Prajurit Bali mempertahankan Jagaraga sekuat tenaga. Karena Belanda sudah mengetahui kekuatan Benteng Jagaraga maka pada 16 April 1849 Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. I Gusti Ketut Jelantik pun harus mundur ke Pegunungan Batur Kintamani.
 
Selanjutnya, Ketut Jelantik pergi ke Karangasem mencari bantuan. Ternyata istana Karangasem juga sudah diduduki Belanda. Ketut Jelantik akhirnya bertahan di perbukitan Bale Pundak, sementara Belanda terus memburunya. Ia akhirnya gugur dalam pertempuran di tempat itu pada akhir April 1849.
 
Atas jasa-jasanya kepada negara, I Gusti Ketut Jelantik dianugerahi gelar 
pahlawan Nasional berdasarkan SK 
Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993. e-ti | tl

Penulis : TImLiputan



Sejarah Bali Sejarah Bali Buleleng Pura Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik Jagaraga


Tonton Juga :











Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT