Asal usul

Sejarah Pura Luhur Puncak Tedung

 Jumat, 08 September 2017

SejarahBali.com/Istimewa

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Gianyar - 
Pura Pucak Tedung belum ditembok sekelilingnya (penyengker) dan terdiri dari 3 halaman (undag). Halaman pertama adalah yang tertinggi yang disebut Jeroan, halaman yang kedua lebih rendah yang disebut Jaba Tengah dan halaman yang ketiga disebut Jaba.
 
Halaman yang tertinggi atau Jeroan, luasnya 730,77 m2 dengan ukuran panjang (Timur ke Barat) 27,37 m dan lebar (Utara ke Selatan) 26,70 m. Jeroan adalah tempat-tempat bangunan pokok yang akan diuraikan menyendiri. Di Jaba Tengah hanya ada dua bangunan antara lain Bale Kulkul dan Bale Panggungan.
 
 
Di sebelah Barat Laut Pura Pucak Tedung ada sebuah Pura Kecil yang disebut Pura Sekartaji yang luas halamannya lebih kurang 7 m2 dengan panjang 3,5 m dan lebar 2 m. Di Pura Sekartaji ini hanya ada 2 bangunan, yaitu :
Palinggih Batur Sari
Paruman Pancaresi
Pura ini erat kaitannya dengan Pura Pucak Tedung.

 

Sejarah Pura Pucak Tedung
Secara harfiah Pucak berarti ujung tertinggi dari dataran tinggi. Tedung adalah semacam payung. Sejarah nama Pura Pucak Tedung sampai saat ini belum diketemukan termuat dalam lontar-lontar/purana. Secara mythologi bahwa waktu seorang pemimpin Agama Hindu yang bernama Danghyang Nirartha atau Bhatara Sakti Wawu Rauh, mengadakan perjalanan dari daerah Pulaki menuju Pulau Bali bagian timur, beliau beristirahat di ujung tertinggi suatu dataran tinggi (orang Bali biasanya menyebut suatu ujung dataran tinggi adalah Pucak). Pada saat beliau melanjutkan perjalanan, pajeng (tedung) yang dibawanya ketinggalan di pucak tersebut, maka dataran itu disebut Pucak Tedung dan Pura yang dibangunnya disebut Pura Pucak Tedung.
Untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Nirartha maka didirikanlah Palinggih Meru Atap 3 (Tumpang Tiga). Seorang keturunan Raja Mengwi dalam perjalanan menuju Pucak Pangelengan (Tinggan) untuk melakukan meditasi (myasa), juga beristirahat di Pura Pucak Tedung. Atas perintah beliau dibangunlah sebuah meru tumpang 7. Meru tumpang 7 ini adalah representasi dari Pura Pucak Beratan. Dengan dibangunnya meru tumpang 7 ini, masyarakat di Petang dan sekitarnya tidak usah langsung lagi datang ke Pura Pucak Beratan untuk memohon kemakmuran di sawah dimana hanya cukup melalui Pura Pucak Tedung.

Baca juga: Museum Semarajaya Kerta Gosa 

Bila ada orang meninggal di suatu desa yang merupakan pengemong Pura Pucak Tedung, biasanya dalam upacara penguburan/pembakaran mayat sekeluarga memohon air suci (nunas tirtha) yang disebut tirtha pengentas. Untuk masyarakat di Desa Petang, Desa Kerta diperkenankan memohon tirtha suci/air pengentas dari Jaba Pura Desa Kerta, yang mana di Jaba Pura Desa Kerta itu ada sebuah bangunan khusus untuk memohonnya yang disebutPura Penataran.
Sewaktu jayanya Kerajaan Mengwi sekitar abad ke-17, dimana menguasai sampai daerah Badung bagian utara, maka pengawasan/pemeliharaan Pura Pucak Tedung diserahkan kepada Puri Carangsari. Puri Carangsari menyerahkan kepada Puri (Jeroan) Kerta untuk mengawasi/memelihara. Pada abad ke-17 Puri Carangsari mengembangkan wilayahnya dimana seorang keturunannya yang bernama I Gusti Ngurah Rai, pindah ke Desa Petang dan menetap di sana, karena Puri Kerta putung (tidak ada kelanjutan keturunan) maka pengawasan/pemeliharaan Pura Pucak Tedung diserahkan kepada Puri Petang yang merupakan pecahan/bagian Puri Carangsari, sedangkan Raja Busana (peralatan di Pura antara lain Bajra/ semacam genta) masih disimpan di Jeroan Kuta.

Baca juga: Jenasah prajurit kerajaan Badung saat Puputan Badung, thn 1906 

Dengan bertahtanya I Gusti Ngurah Rai di Desa Petang maka diadakanlah pembagian wilayah disebut Desa Adat dan merupakan pengemong Pura Pucak Tedung. Desa-desa yang dimaksud adalah :
Desa Sulangai
Desa Adat Munduk Damping
Desa Adat Lipah
Desa Adat Sandakan
Desa Adat Angantiga
Desa Adat Batulantang
Desa Adat Kerta
Desa Adat Petang
Selain dari masyarakat desa adat tersebut di atas ini melakukan persembahyangan pada waktu piodalan di Pura Pucak Tedung, ada juga orang-orang luar Kecamatan Petang melakukan persebahyangan antara lain :
dari Banjar Pupuan Desa Mengwi
dari Banjar Subali Desa Ubud
dari Banjar Ulapan Kecamatan Blahkiuh
Upacara Piodalan
Upacara piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada Hari Sabtu Kliwon Wuku Krulut atau Tumpek Krulut. Pada waktu upacara piodalan palinggih Ida Bhatara diusung untuk mekiyis atau melasti ke Pura Beji. Sekembali dari Pura Beji pelinggih tersebut berhenti sementara (mesandekan) di Pura Sekartaji. Maksud dari mesandekan itu adalah tak ubahnya seorang yang habis mandi mesti memperbaiki/mengatur pakaiannya menjelang masuk rumah.

 

Pada upacara piodalan (piodalan agung/besar) sesajen yang dipersembahkan antara lain :
Banten Catur
Banten Panggungan Jaba/Jero
Banten Bebangkit Jaba/Jero
Pada meru tumpang tiga dipersembahkan sesajen antara lain : Peras Daksina, suci 5 buah dan sesantun agung 1 buah. Dalam meru tumpang 7 dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, catur 1 buah. Pada padmasana dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, catur 1 buah, daksina agung 1 buah. Pada surya dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, matah-matah (bogolan).
Pada hari piodalan (piodalan kecil/alit) sesajen yang dibuat atau dipersebahkan antara lain : pada meru tumpang 3, merum tumpang 7, palinggih padmasana masing-masing dipersembahkan peras daksina dan suci dua buah.

 

Nama Palinggih serta Fungsinya
Nama palinggih serta fungsi dari masing-masing palinggih di Pura Pucak Tedung antara lain :
Palinggih Ratu Meres/Ratu Mujung menghadap ke Selatan yang mempunyai fungsi sebagai Dewa Kemakmuran.
Palinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yang menghadap ke Selatan, yang mempunyai fungsi sebagai prekangge Bhatara di Pura Dalem.
Palinggih Ratu Ngurah Tangkeb Langit menghadap ke Selatan yang berfungsi sebagai prekangge Bhatara di Pura Desa.
Meru Tumpang 7 yang menghadap ke Selatan yang mempunyai fungsi sebagai penyiwian Ida Bhatara di Pucak Beratan Bedugul.
Palinggih Padmasana menghadap ke Barat dan mempunyai fungsi sebagai tahta Tuhan Yang Maha Esa (Siwa Raditya).
Meru Tumpang Tiga menghadap ke Barat yang mempunyai fungsi untuk menyembah Ida Danghyang Nirartha.
Bale Paselang yang mempunyai fungsi sebagai tempat upacara “Mapeselang“.
Bale Panggungan yang mempunyai fungsi tempat banten ayaban Bhatara.
Bale Pelik yang mempunyai fungsi tempat ngadegang/ngelinggihang Ida Bhatara.
Bale Sekulu yang berfungsi sebagai tempat masandekan/menghias.
Palinggih Apit Lawang yang mempunyaim fungsi sebagai tempat prekangge di Pura tersebut.
Bale Kulkul yang mempunyai fungsi sebagai tanda upacara.

 Baca juga: Desa Celuk, Desa Pengrajin Emas Dan Perak

Kesimpulan
Status Pura dan Fungsinya :
Pura Pucak Tedung dapat digolongkan sebagai Dang Kahyangan karena pada jaman dahulu menjadi tanggungan kerajaan.
Fungsinya :
Untuk memohon tirtha pengentas meru tumpang tiga
Sebagai pura tempat memohon kemakmuran karena ada pesimpangan Pura Beratan dan Pelinggih Ratu Meres/Ratu Mujung.

Penulis : TImLiputan



Sejarah Bali Sejarahbali Sejarah Pura Luhur Puncak Tedung Petang Badung



Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT