MAKNA UPACARA MEBAYUH OTON

 Sabtu, 10 Oktober 2020, 00:00 WITA

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Denpasar - 

Upacara mabayuh oton merupakan salah satu upacara manusa yadnya yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu Sad Ripu atau sifat-sifat keraksasaan yang dibawa sejak lahir. Sehingga upacara mebayuh oton identik dengan upaya memusnahkan karakter buruk yang sudah dibawa dari lahir.

Umat Hindu meyakini karakter anak bisa dibawa sejak lahir. Apabila anak memiliki utang atau kapiutangan saat ia lahir, maka akan berdampak pada karakternya kelak ketika ia sudah dewasa. Dalam tatanan kelahiran, yang lahir itu akan menderita. Kelahiran adalah samsara atau sengsara.

Dengan upacara yang di Bali lumrah disebut manusia yadnya, adalah upaya menyadarkan manusia agar tidak terlena di alam kejatuhannya ini. Di lain hal manusia diharapkan bisa meningkatkan dirinya ke alam yang lebih tinggi. Maka dengan demikian, upacara otonan menegaskan kembali akan kehadirannya di muka bumi adalah sebuah kejatuhan.

Untuk itu, melalui otonan pelan-pelan dibangun kesadaran karena semasa hidup manusia lebih banyak aturu atau lupa. Sementara, mebayuh itu karena manusia lahir dengan Hutang atau Rna.

Guna memusnahkan karakter buruk yang sudah dibawa dari lahir itu, masyarakat Bali melakukan upacara mabayuh oton. Masyarakat Bali percaya dan berdasarkan pengalaman beberapa masyarakat, karakter anak itu setelah dibayuh berangsur menjadi lebih baik. Upacara Mabayuh oton sebagai suatu kebudayaan karena merupakan nilai kear­ifan lokal atau local jenius masyarakat Bali yang sudah dipelihara dari masa nenek moyang.

Pelaksanaan upacara mabayuh oton ini juga merupakan wujud kebudayaan dan sebagai ses­uatu komplek aktivitas serta tindakan yang ber­pola dari manusia. Upacara mebayuh oton biasanya diperingati dengan menentukan hari, umumnya dipakai adalah wewaran dan wawukon. Wewaran yang umum dipergunakan adalah dua yaitu Panca Wara yang terdiri dari Umanis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Yang kedua adalah Sapta Wara, yaitu Redite, Coma, Anggara, Budha, Wras­pati, Sukra, dan Saniscara. Sedangkan Wawukon adalah Shinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gum­bereg, Wariga, Warigadean, Julungwangi Sung­sang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Kelurut, Merakih, Tambir, Medan­gkungan, Matal, Uye, Menahil, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut lan Watugu­nung.

Rentetan prosesi upacara mabayuh oton di­awali dengan acara mewacakan kepada orang suci, Mewacak ini dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala kurang baik yang ada pada diri anak berdasarkan hari kelahirannya.

Setelah diwacak baru ada kesepakatan antara orangtua dan Pendeta bahwa akan dilakukan upacara mabayuh oton. Baik menyangkut waktu, tempat, dan sarana-prasarana (bebantenan) yang digunakan untuk penebusan.

Dan dimana saja si Anak ini harus di bayuh contohnya dia harus mebayuh di sungai, di segara, dan lain-lain. Kemudian Upacara berikutnya adalah upacara natab banten oton. Upacara natab ini adalah cara memanggil atau mengundang kekuatan suci seperti para dewa atau roh suci leluhur.

Sebelum banten ditatab oleh orang yang dibayuh, maka sebelumnya banten tersebut dipersembahkan kepada dewa atau roh leluhur agar Beliau berkenan merestui dan menempati banten tersebut. Kemudian baru banten tersebut diayab atau ditatab oleh orang yang akan diupacari, selesai natab kemudian si anak nunas wangsuhpada dan melabaan.






Sejarah Terpopuler