Klasik

Keunikan Tradisi Sengkidu

 Senin, 08 Juni 2015

Sejarahbali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Karangasem - 
Bali memang penuh dengan beragam tradisi, adat, dan kebiasaan penduduk yang menjadi salah satu sendi fundamental dalam keseharian masyarakatnya. Mayoritas penduduk Bali yang beragama Hindu memang mempunyai beberapa tradisi unik dalam tata cara persembahyangannya. Masing – masing daerah di Bali mempunyai adat – istiadat tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya.
 
 
Biasanya tradisi ini telah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kalau kita hubungkan dengan ajaran Hindu mungkin adat dan kebiasaan ini selaras dengan filsafat "Desa, Kala, Patra" yang artinya tempat, waktu dan keadaan.
 
 
Salah satu tempat yang mempunyai kebiasaan unik dalam melakukan ritual persembahyangan adalah Desa Sengkidu. Sengkidu terletak di Kabupaten Karangasem, yang memang terkenal akan keunikan masyarakatnya.
 
 
Di kabupaten ini terdapat beberapa cagar budaya yang sangat penting di Bali, seperti Pura Besakih, Desa Trunyan, dan lain lain. Keunikan ini memberikan daya tarik tersendiri pada Kabupaten yang terletak di bagian timur pulau Bali ini. Dalam salah satu pelaksanaan upacara keagamaan di Desa Sengkidu.
 
Para umat yang melakukan persembahyangan, datang ke pura tanpa memakai alas kaki ( kebiasaan yang telah ada sejak dulu ). Tatanan upacara di Pura Desa / Puseh desa ini diawali dengan tarian rejang dewa yang ditarikan oleh anak – anak perempuan kecil ( umurnya kurang lebih 7 tahunan ). Prosesi ini berlangsung beberapa saat dengan bergerak mengelilingi jeroan dan beberapa area yang telah ditentukan.
 
Hal yang sangat unik untuk kita saksikan disini adalah keberadan “Daratan” yang merupakan orang – orang yang biasanya dipilih berdasarkan garis keturunan. Mereka tidak ubahnya seperti orang yang “kesurupan”, yang meminta keris pada para pecalang yang kemudian digunakan untuk “ngurek” dan mengiris – iris tangannya ( biasanya pada bagian bisep ). Umumnya para “daratan” yang saya lihat disini laki – laki, perempuannya sangat jarang ( “daratan” wanita tidak menggunakan sarana keris ). Mereka umumnya mengenakan “kamben” poleng ( hitam putih ) dan bertelanjang dada alias tanpa baju.
 
Atraksi “daratan” ini diiringi seperangkat Gong dengan suara dinamis, yang mungkin memacu adrenalin para “daratan” untuk lebih aktif menggunakn kerisnya. Hal yang membuat saya heran, mereka seakan – akan tidak merasakan sakit, walaupun lengannya telah meneteskan darah. Tidak jarang mereka menyuruh para umat untuk berteriak, yang seakan akan memberikan mereka semangat.
 
Di sela sela serunya “daratan” memainkan kerisnya, teruna – teruni dan beberapa warga mulai bergantian untuk “mendet”, menari dengan membawa canang di tangan. Tidak seperti rejang, orang yang “mendet” tidak hanya terbatas pada anak – anak kecil saja. Iringan gong yang mengiringi para pe-mendet, menimbulkan suasana magis nan unik bagi saya. Perasaan takjub dan kagum mengiri saya menyaksikan prosesi ini.
 
Setelah semua prosesi tersebut, persembahyangan dilanjutkan dengan Tri Sandya, dan panca sembah. Tidak lupa “tirta” dan “bija” diberikan oleh para pemangku. Dalam hati, saya sangat bangga karena di tengah serbuan modernitas di Bali, tradisi dan budaya di daerah ini masih terjaga dengan baik. Tidak heran para wisatawan mancanegara sangat tertarik untuk menyaksikan budaya – budaya seperti ini. Semoga budaya – budaya Bali di berbagai pelosok daerah tetap ajeg, sehingga anak cucu kita masih tetap dapat menikmati dan menjalankan tradisi dan budaya yang kita miliki dan yakini.

Penulis : TImLiputan



Sejarah Bali Sejarah Bali Wisata


Tonton Juga :











Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT