Asal usul

Sejarah Pura Melanting Di Buleleng

 Kamis, 24 Agustus 2017

SejarahBali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Karangasem - 

Pura Melanting adalah salah satu pura Kahyangan Jagat di Bali, menempati posisi penting dalam deretan nama-nama pura yang ada di Bali, sebagai masyarakat yang religius dan percaya dengan adanya satu Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widi Wasa, namun manifestasi-Nya dengan banyak nama sesuai fungsi dan sifatnya.

Seperti halnya dengan Pura Melanting ini, merupakan pura yang bersifat fungsional karena sebagai tempat untuk memuja Ida Bhatari Melanting atau Dewi Melanting memohon kemakmuran, kesuburan, keselamatan dan agar dilancarkan dalam usaha dagang.

Pura Melanting sangat berkaitan dengan usaha dagang agar dilancarkan, itulah sebabnya setiap pasar didirikan pura Melanting. Pemujaan Dewi Melanting di Pura Melanting bisa disejajarkan dengan Bhatara Rambut Sedana atau Dewa Kwera sebagai dewanya uang.

Pura Melanting di Kabupaten Buleleleng, lokasinya cukup berdekatan dengan Pura Pulaki termasuk juga Pura Pabean, Ida Mutering Jagat di Pemuteran dan Kerta Kawat, sejarah berdirinya pura-pura tersebut memiliki kaitan erat satu dengan lainnya. Keberadaan Pura Melanting dan pura pesanakan lainnya berkaitan erat dengan perjalanan
 
 
Pendeta suci Dang Hyang Nirartha dari tanah Jawa ke Bali dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur agama Hindu kepada masyarakat Bali. Kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Bali tidak lepas karena runtuhnya kerajaan Majapahit dan masuknya pengaruh Islam di tanah Jawa. Perjalanan tersebut mengajak keluarga seperti istri dan anak-anaknya.
 
Dang Hyang Nirartha dikenal juga dengan gelar Dang Hyang Dwijendra dan Pedanda Sakti Wawu Rauh, perjalanan beliau dari Jawa menuju Bali tentu sangat jauh, sehingga istri beliau Danghyang Biyang Patni Keniten yang saat itu sedang hamil tua merasa kelelahan, persendian kakinya bengkak dan ngilu, tak kuasa rasanya mengangkat kaki untuk melanjutkan perjalanan ke arah Timur yang masih jauh. Karena hal tersebut sang Pendeta merasa bimbang, apakah menemani istri sampai melahirkan atau melanjutkan perjalanan suci tersebut.
 
 
Akhirnya Dang Hyang Nirartha memtuskan untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan belahan jiwanya di desa tempat tersebut ditemani salah satu putrinya yang bernama Dyah Ayu Swabawa serta ditemani oleh sejumlah pengikutnya, sedangkan putra dan putri lainnya yang masih kuat berjalan kaki diajak serta melanjutkan perjalanan, dan kelak seandainya Dang Hyang Nirartha telah sampai ke tempat tujuan akan diutus pengikutnya untuk menjemput istri beserta anak-anaknya untuk bergabung kembali dengan keluarga besar mereka.
 
Danghyang Biyang Patni Keniten, ditemani oleh pengikutnya dan seorang anak perempuannya, beristirahat sampai sehat benar, kemudian membuka lahan untuk tempat tinggal berladang dan bersawah. Dengan berbagai ilmu kehidupan, ilmu agama dan kesaktiannya Peranda istri dengan penuh kearifan mengajarkan tentang ilmu kehidupan pada warga sekitarnya, lama-kelamaan semakin dikenal dan memiliki pengikut ribuan orang dan menjadi ibu seluruh masyarakat di sini. Beliau akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki bernama Bagus Bajra, parasnya rupawan dan menawan.
 
Anak-anak Danghyang Biyang Patni Keniten tumbuh semakin besar begitu juga Dyah Ayu Swabawa menjadi putri tumbuh cerdas, penuh pesona, bijaksana memiliki wibawa seperti ayahandanya bahkan terlihat lebih dewasa daripada umurnya. Dyah Ayu Swabawa memiliki keahlian dalam ilmu dagang, sangat lihai memikat para pembeli atau memilih barang-barang yang diinginkan oleh pembeli, sehingga para pembeli selalu setia untuk kembali lagi. Kawasan tempat tinggalnya menjadi tempat yang ramai dikunjungi oleh para saudagar sehingga menjadi pusat perniagaan karena masyarakat memang senang berbelanja di tempat tersebut.
 
Sudah sekian lama menunggu, harapan Danghyang Biyang Patni Keniten beserta keluarganya akan kedatangan utusan dari Dang Hyang Nirartha untuk menjemputnya tidak kunjung tiba, bahkan Dyah Ayu Swabawa hampir setiap hari memanjat pohon mengawasi dari ketinggian sambil berayun-ayun (bahasa Bali ngelanting) menantikan jikalau ada utusan dari ayahandanya. Warga sekitar sangat sayang dengan Dyah Ayu, karena kebiasannya tersebut memanjat dan berayun di pohon, orang-orang memberi sebutan hormat dengan nama Dyah Ayu Melanting dari nama Dyah Ayu sejarah nama pura tersebut, sedangkan ibundanya yang arif dan bijaksana suka memberi nasehat diberi nama Mpu Alaki atau seorang arif (mpu) yang sudah memiliki suami (alaki) berstana di Pura Pulaki.
 
Waktu terus berjalan utusan dari Dang Hyang Nirartha tidak juga datang menjemput, tidak ada kabar berita, peranda istri sangat menyesalkan perpisahan masa lalu tersebut, peranda istri merasa putus asa, beliau menangis di tempat pemujaan sambil memohon kepada para dewa agar dirinya dan seluruh warga abadi, tidak termakan usia. Karena kekusukannya akhirnya Dewata memberkati namun dalam satu syarat. Peranda istri atau Mpu Alaki akan dibebaskan dari perputaran sang kala, bebas dari penuaan dan kematian tetapi tidak bisa dilihat oleh orang lain. Itu untuk menjaga umat atau orang lain iri melihat orang abadi. Demi kasih sayang dan kesetiaan penantian panjang tersebut dibayar dengan keabadian yang tidak terlihat.
 
Mengetahui hilangnya Danghyang Biyang Patni Keniten atau peranda istri, Dang Hyang Nirartha mengira bahwa peranda istri, anak-anak dan pengikutnya moksa. Dan baru disadarinya tatkala Dang Hyang Nirartha moksa di ujung selatan Bali di pura Uluwatu, kemudian akhirnya disusul oleh Danghyang Patni Keniten tempat moksa peranda istri ini bernama pura Pulaki sesuai gelar beliau Mpu Alaki, sedangkan sang putri Dya Subawa Melanting distanakan di pura Melanting, dan putanya Bagus Bajra distanakan di Pura Kerta Kawat sebagai pangeran Mentang Yuda sebagai sumber keadilan dalam memutuskan perkara, sedangkan pengikutnya sebagai wong samar yang terbebas dari perputaran waktu.

Penulis : TImLiputan



Sejarah Bali Sejarah Bali Wisata


Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT