Biografi

Anak Agung Pandji Tisna, Sastrawan Bali yang Bertutur dengan Cara Orang Biasa

 Kamis, 25 September 2014

sejarahbali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 
Pada tahun 1929, Pandji Tisna dikirim ayahnya ke Lombok, sebuah pulau di dekat Bali, di mana ia tinggal di sana sampai 1934, mengurus bisnis transportasi ayahnya. Sekembalinya ke Singaraja, Pandji Tisna pindah ke desa kecil di luar kota Singaraja dan mengelola perkebunan kelapa serta usaha ekspor kopra. Tampaknya kehidupan pedesaan lebih disukainya daripada kehidupan istana.
 
 
Bahasa ibu Pandji Tisna adalah bahasa Bali. Ia belajar bahasa Belanda saat bersekolah. [2]Bahasa Melayu atau bahasa Indonesia adalah bahasa ketiga yang dipelajarinya di sekolah sebagai bahasa "asing" ketika ia berumur 12 tahun.
 
 
Meski mencintai adat dan tradisi Bali, Pandji Tisna banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam penulisan karyanya. Sejak tahun 1935, ia bertekad menjadi penulis yang menghasilkan novel dalam bahasa Indonesia, yakni Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, dilanjutkan dengan Sukreni Gadis Bali, ''I Swasta: Setahun di Bedahulu'', dan ''Dewi Karuna:
 
Salah Satu Jalan Pengembara Dunia''. Karya-karya Pandji Tisna yang menampilkan budaya dan tradisi Bali ini memberikan warna baru bagi khazanah kesusasteraan Indonesia pada masa itu yang lebih didominasi kesusasteraan Sumatera.
 
 
Pada 1942, Jepang menyerang dan mengambil alih hampir semua bekas jajahan Belanda di Hindia, termasuk Bali. Pada saat itu, Pandji Tisna hidup tenang di pedesaan Singaraja hingga tahun 1944, ketika dia ditangkap oleh militer Jepang karena dicurigai melakukan kegiatan anti-Jepang. Ia dibebaskan tidak lama kemudian, namun Jepang telah menghancurkan perpustakaannya yang memiliki banyak koleksi buku berbahasa asing.
 

Halaman :


Sejarah Bali Sejarah Bali


Tonton Juga :



Biografi Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT