Cerita

Omed-Omedan, Tradisi Unik Kota Denpasar

 Rabu, 13 Agustus 2014

Sejarahbali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 
Setelah aba-aba, kedua barisan ini akan berputar sekali dan selanjutnya pasangan muda-mudi yang terpilih akan saling dihadapkan, saling berpegangan, saling berangkulan dan saling tarik menarik bahkan berciuman. Ketika hal ini terjadi, pasangan ini akan diguyur air sehingga basah kuyup dan seketika menciptakan suasana riuh dan gembira pada peserta dan penonton ditambah suara gamelan yang menambah kemeriahaan.
 
Setelah berangkulan beberapa saat, pasangan muda-mudi ini dipisahkan dan kedua barisan kembali menjauh. Selanjutnya, anggota barisan yang belum mendapat giliran satu persatu digendong dan dihadapkan dengan lawan jenis yang berada di barisan satunya hingga semua anggota masing-masing barisan memperoleh kesempatan.
 
Suasana Gembira
 
Penonton yang saling berdesakan menyaksikan tradisi unik ini juga tak luput dari siraman air yang dilakukan panitia acara. Hal ini dilakukan untuk menertibkan penonton yang mulai memasuki arena omed-omedan sehingga mengganggu jalannya acara. Tak jarang penonton juga basah kuyup karena terlalu dekat dengan arena. Namun, hal ini tidak terlalu dipermasalahkan karena pada dasarnya tradisi ini berlangsung dengan suasana kegembiraan dan suka cita.
 
Acara ini berlangsung sekitar dua jam hingga seluruh peserta mendapat kesempatan untuk melakukan omed-omedan. Untuk memeriahkan acara, juga digelar berbagai kegiatan seperti pasar rakyat, pameran ogoh-ogoh hingga panggung musik.
 
Awalnya, Ketika Raja Larang Kegaduhan
 
SUATU tradisi yang telah mengakar di suatu daerah tentu saja tidak bisa dipisahkan dari sejarah yang menyertainya. Begitu juga tradisi omed-omedan yang dilakukan warga Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar Selatan. Ini tradisi unik yang mungkin hanya ada satu-satunya di dunia.
 
I Gusti Ngurah Oka Putra, sesepuh atau tetua Banjar Kaja menjelaskan perihal asal-usul berlangsungnya tradisi ini.  ”Omed-omedan ini menurut cerita bermula dari abad ke 17,” ujar pria yang lebih dikenal dengan nama Ngurah Bima atau Arya Jimbaran ini.
 
Seketika Sirna
 
Alkisah pada abad ke-17, wilayah Sesetan dikuasai seorang raja. Suatu ketika, raja mengalami sakit keras dan tak seorang tabib pun yang dapat menyembuhkannya. Karena itu, raja menitahkan para abdi dan warga sekitar agar tidak membuat kegaduhan di sekitar puri yang dapat mengganggu raja yang sedang sakit.
 
Namun suatu ketika, bertepatan dengan Hari Nyepi, para abdi dan warga tidak mengindahkan titah raja dan mulai membuat kegaduhan di jalanan. Mereka saling tertawa, bergembira, saling tarik menarik dan saling berangkulan. Tentu saja raja yang sedang sakit dan beristirahat di dalam puri menjadi terganggu.
 
Amarah raja pun meledak. Dengan terhuyung-huyung menahan sakit, ia berjalan keluar. Sesampainya di halaman puri, ia melihat para abdi dan masyarakat sedang berangkulan bergembira. Anehnya, melihat hal itu raja seketika sirna semua sakitnya. Kesehatannya pulih seperti sediakala dengan ajaib. Karena hal itu, raja yang awalnya marah menitahkan agar kegiatan ’berangkulan bergembira’ ini dilaksanakan tiap tahun pada Hari Nyepi.
 
Kegiatan itulah yang kemudian bernama omed-omedan. Sejak saat itu, omed-omedan digelar rutin tiap tahun di Banjar Kaja, Sesetan.  ”Pada zaman penjajahan, kegiatan ini sempat dilarang oleh pemerintahan kolonial sehingga warga melakukannya secara sembunyi-sembunyi, tidak dilakukan di jalan utama tetapi di ladang,” tambah Ngurah Oka.
 
Pelaksanaan Dipindah
 
Pada 1979, acara omed-omedan yang pada awalnya dilaksanakan tepat pada Hari Nyepi dipindahkan ke hari Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi karena penyamaan persepsi tentang Hari Nyepi oleh PHDI dimana pada Nyepi tidak diperkenankan membuat keramaian.
 
Sebagai kegiatan yang dilakukan warga Banjar Kaja secara turun-temurun, omed-omedan juga diselimuti nuansa sakral. Ngurah Oka menyebutkan, suatu ketika karena sesuatu hal, omed-omedan pernah tidak diselenggarakan. Pengumuman telah dibuat dan dipasang di Bale Banjar Kaja.
 
 
Penonton yang telah berduyun-duyun datang tentu kebingungan karena acara rutin ini tidak digelar. Hingga tak disangka-sangka, para sesepuh dan pemuka Banjar yang telah kembali ke rumah masing-masing mendengar kegaduhan yang terjadi persis seperti yang terdengar saat omed-omedan digelar. Tentu saja mereka terkejut dan serta merta keluar untuk melihat apa yang terjadi.
 
 
Ternyata orang-orang yang memang sejak tadi berkumpul itu bersorak-sorak membuat gaduh lantaran menyaksikan dua ekor babi sedang berkelahi di pelataran pura setempat. Perkelahian itu begitu serunya hingga kedua babi itu mengucurkan darah dari tubuhnya dan mengotori pelataran pura. Tak lama berselang, perkelahian babi itu berhenti dan kedua hewan itu berlari menjauh dan menghilang begitu saja.
 
Unsur ’Niskala’
 
Menyaksikan hal itu, para pemuka dan sesepuh Banjar Kaja seperti mendapat firasat buruk terutama melihat ceceran darah babi di pelataran pura itu. Setelah melakukan persembahyangan, para pemuka dan sesepuh memutuskan tradisi omed-omedan akan terus dilaksanakan setiap tahun.
 
”Sejak saat itu, omed-omedan secara rutin kami lakukan karena ada unsur niskala yang menyertai kegiatan itu. Kami tidak berani mengambil risiko yang akan terjadi bila omed-omedan tidak dilaksanakan,” tutur Ngurah Oka seraya menambahkan, kegiatan ini juga berperan memberikan penghormatan kepada leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nilai sosial tinggi untuk memupuk rasa kesetiakawanan.
 
“Tradisi ini juga berfungsi untuk menjaga keharmonisan sesuai norma yang berlaku. Juga sebagai wujud solidaritas dan persatuan masyarakat untuk saling memberi dan meminta baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam mempererat nyama braya bukan hanya di Banjar Kaja, tapi juga banjar-banjar lain di sekitarnya dengan turut serta dalam omed-omedan,” tambahnya.

Penulis : TImLiputan

Editor : SejarahBali


Halaman :


Sejarah Bali Sejarah Bali Wisata Omed Omedan Denpasar Tradisi


Tonton Juga :











Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT