Asal usul

Pura Gunung Raung sebagai Pasraman

 Rabu, 30 Agustus 2017

SejarahBali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sejarahbali.com, Klungkung - 
Karena Pura Gunung Raung ini sebagai pasraman tempat mendalami ilmu kerohanian (Para Vidya) dan ilmu keduniaan (Apara Vidya) maka ada kemungkinan empat pintu kesemua arah sebagai pengejawantahan pentanyaan Mantra Rgveda I.89.1 yang menyatakan: A no bhadarah kratavo yantu visavanta. Artinya: Semoga pemikiran yang mulia datang dari semua arah.
 
 
Sepertinya demikianlah makna adanya empat pintu (P) Pura Gunung Raung sebagai Pasraman Dang Hyang Markandya. Keunikan yang lain adalah areal pura ini juga sangat berbeda dengan pura lainnya di Bali. Umumnya letak jaba sisi menuju jaba tengah terus menuju jeroan pura terletak satu arah. Namun, Pura Gunung Raung sedikit berbeda. Masuk dari jaba sisi dari arah utara menuju ke selatan.
 
 
Sebelah barat jaba sisi ini terdapat dapur dan hutan kecil. Jaba tengahnya terletak di selatan jaba sisi. Namun jeroan puranya tidak terletak di selatan jaba tengah namun terletak di barat jaba tengah. Di areal jaba sisi terdapat bangunan Titi Gonggang (29), balai kulkul (28) dan gedong tempat busana.
 
 
Di jaba tengah terdapat 10 bangunan antara lain balai pertemuan, Pelinggih Dalem Purwa Bumi (27), Pelinggih Ratu Pasek (26), Pelinggih Ratu Ngerurah (25), Balai Gong (30-32), Titi Gonggang (29), Balai Kulkul dari pohon Salagui (24), Balai Pegat (23), Palinggih Batara Sri (22) dan Pelinggih Bale Agung (23?). Sementara di jeroan pura tidak kurang dari 20 macam bangunan suci. Antara lain yang paling penting adalah Pelinggih Batara Gunung Raung (1).
 
Keberadaan Pura Kahyangan Jagat di Bali umumnya terus tumbuh dari generasi ke generasi. Berdasarkan prasasti yang dijumpai di Pura Gunung Raung diduga zaman pemerintahan Raja Anak Wungsu. Kemungkinan Pura Gunung Raung di Taro ini sudah ada sebelum abad ke-11 Masehi. Karena pura ini terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman maka ada dijumpai Pelinggih Penyawangan Bathara Majapahit (2). Padahal zaman Majapahit itu ratusan tahun setelah pemerintahan Raja Anak Wungsu.
 
Selanjutnya ada Pelinggih Mundar Mandir (10), pelinggih ini juga disebut Pelinggih Omkara. Fungsi pelinggih ini untuk mengingatkan umat agar setiap memanjatkan doa agar senantiasa mengucapkan Omkara saat awal berdoa dan saat menutup doa. Hal itu memang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra II.74. Omkara awal untuk mengarahkan agar doa tersebut mengarah pada sasaran yang benar dan suci, sedangkan Omkara sebagai akhir pengucapan doa agar makna memuja itu tidak lepas begitu saja.
 

Halaman :


Sejarah Bali Sejarah Bali Wisata


Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT