Asal usul

Pura Gunung Raung sebagai Pasraman

 Rabu, 30 Agustus 2017

SejarahBali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 
Selanjutnya Pelinggih Ratu Penyarikan (9) adalah pelinggih untuk memuja Tuhan agar kita mendapatkan tuntunan Hyang Widhi agar bisa menjalani hidup sesuai dengan tahapan hidup sebagaimana diajarkan dalam ajaran Catur Asrama. Kata ”nyarik” dalam bahasa Bali artinya tahapan.
 
Pelinggih Ratu Rambut Sedhana (8). Makna pemujaan Tuhan sebagai Rambut Sedhana sebagai wujud motivasi agar umat manusia mengolah isi bumi ini agar dapat menumbuhkan sarana hidup yang tak terhingga. Kata rambut bermakna sesuatu tak terhitung banyaknya. Sedhana artinya sarana hidup yang tak terhitung jumlahnya. Mengolah alam agar senantiasa menghasilkan sarana hidup yang tak terhingga tentunya tidak mudah. Namun demikian, itulah yang wajib diupayakan oleh umat manusia dalam mengolah kesuburan alam ini.
 
Ada penyawangan sebagai Pelinggih Masceti (3). Pura ini untuk memuja Tuhan dalam memohon agar tidak terjadi wabah penyakit seperti hama bagi tanaman dan hama, sebab hewan karena sumber alam itu yang dijadikan tumpuan hidup masyarakat.
 
Selanjutnya ada Balai Pengeraos (?) sebagai simbol apa pun yang akan dilakukan hendaknya didahului dengan musyawarah. Selanjutnya ada Kamulan Agung (11) sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara dari Dang Hyang Markandiya sebagai seorang pandita utama tentunya harus memberi contoh dalam memuja Tuhan dan Dewa Pitara dari leluhur beliau.
 
Di Pura Gunung Raung ini terdapat juga Pelinggih Penyawangan seperti ke Pura Luhur Ulu Watu (Pelinggih No. 13? Maksudnya mungkin Penyawangan Gunung Batukaru? Uluwatu kan baru ada pada Era Danghyang Nirarta?), Gunung Batur (14), Gunung Sari (15), Gunung Agung (16), Penyawangan ke Campuan Ubud (19), Padmasana (4) dan ada juga Balai Pingit (7) umumnya sebagai menempatkan Tirtha Pingit.
 
Pelinggih Penyawangan tersebut nampaknya didirikan setelah pengaruh Majapahit masuk ke Bali. Upacara piodalan di Pura Gunung Raung ini lakukan setiap 210 hari yaitu setiap Buda Kliwon Ugu. Setiap hari purnama diadakan upacara Mesangkepan para pengurus desa. Pemangku dan anggota desa hadir dalam upacara Mesangkepan itu.
 
Yang agak unik di pura ini upacara piodalan dan upacara lainnya cukup dipimpin oleh pemangku pura. Pemangku dalam memimpin upacara kecil, menengah maupun upacara besar tidak memakai genta.
 
Pura Kahyangan Jagat yang sudah berada sebelum pengaruh Majapahit ke Bali umumnya dalam memimpin upacara tidak menggunakan pandita dwijati dari keturunan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda. Hal ini pun dapat dibahas kembali dalam melakukan penyempurnaan sistem kepanditaan Hindu yang benar-benar bersumber dari sastra agama Hindu yang ada. Karena agama itu sebagaimana dinyatakan dalam Sarasamuscaya 181: Agama ngaran kawarah Sang Hyang Aji. Artinya agama adalah apa yang dinyatakan dalam kitab suci.

Penulis : TImLiputan


Halaman :


Sejarah Bali Sejarah Bali Wisata


Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT