Asal usul

Pura Puncak Panulisan

 Senin, 26 Januari 2015

sejarahbali.com

IKUTI SEJARAHBALI.COM LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 
Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.
 
 
Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.
 
Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.
 
Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan.
 
Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali.
 
Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.
 
Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana.
 
Arca Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
 

Halaman :


Sejarah Sejarahbali Wisata


Tonton Juga :



Asal usul Lainnya :










Sejarah Terpopuler





TRENDING TERHANGAT